Jumat, 05 April 2013

Penerapan 'jiwa korsa' yang tidak tepat - #kasuscebongan

Jiwa korsa, atau jiwa solider, adalah sebuah semangat yang banyak digaungkan dalam kegiatan kemiliteran. Beberapa organisasi juga menerapkan semangat 'jiwa korsa' ini kepada anggota-anggotanya. Lalu, apakah jiwa korsa itu?

Saya mengambil definisi 'jiwa korsa' dari cuplikan tulisan di sebuah blog, yaitu sebagai berikut :

Rapl Linton dalam bukunya (THE STUDY OF MAN) mengatakan bahwa L’ESPRIT DE CORPS adalah THE DEVELOPMENT OF CONSIOUNESS, AFEELING OF UNITY. Jiwa korsa adalah semangat keakraban dalam korps atau corps geest. Jiwa korsa adalah kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi.


Sedangkan Staplekamps jr. Le luit derat dalam tulisan berjudul corps geest (demilitaire spectator, 1952) mengemukakan bahwa pengertian jiwa korsa terdiri dari faktor – faktor :
1. Rasa hormat, rasa hormat pribadi dan rasa hormat pada organisasi/korps.
2. Setia. setia kepada sumpah, janji dan tradisi kesatuan serta kawan – kawan satu korps.
3. Kesadaran. Terutama kesadaran bersama, bangga untuk menjadi anggota korps.

Mungkin jiwa korsa ini seperti konsep ashabiyah-nya ibnu khaldun (1332-1406) dalam bukunya yang terkenal muqadimah yang diartikan sebagai rasa senasib sepenanggunngan, perasaan solidaritas, semangat kesatuan (korps), kesadaran kolektif dsb-nya.

Dari definisi di atas, secara bebas saya mengartikan jiwa korsa sebagai jiwa senasib sepenanggungan dengan anggota-anggota kelompoknya. Satu untuk semua, semua untuk satu. Bahkan dalam konteks radikal, saya meminjam istilah J.B. Williams, bahwasanya jiwa korsa mengandung arti "My Enemy's Friend is also My Enemy". -Siapa saja mengganggu teman sesama kesatuan, hadapi saya juga.-

Jiwa korsa sangat penting diterapkan dalam berbagai organisasi, khususnya di dunia kemiliteran. Kesetiaan kepada kesatuan menjadi penting manakala urusan hankam negara dipertaruhkan. Maka dari itu latihan kemiliteran berlangsung amat sangat keras agar tumbuh jiwa korsa dalam setiap kesatuan, jiwa senasib sepenanggungan semenjak dididik menjadi tentara, jiwa memiliki dan kesediaan membela kesatuan (walaupun cara penumbuhan jiwa korsa tidak melulu dengan cara itu).

Namun, dibalik makna positif dalam semangat 'jiwa korsa', ada juga paradoks yang dihasilkan. Semangat 'jiwa korsa' bisa berefek lahirnya fanatisme berlebihan terhadap kesatuan/komandan/rekan-rekan yang berada dalam kelompoknya. Dengan begitu, apapun yang terjadi dengan kesatuannya, benar atau salah, dia akan selalu membela rekan-rekan sekelompoknya. Maka tidak aneh kudeta militer bisa terjadi di beberapa negara, karena para tentara lebih percaya pada komandan kesatuan dibandingkan kepala negeranya.

Di Indonesia, paradoks dari 'jiwa korsa' ini terjadi dalam kasus penyerbuan LP Cebongan, Sleman. Sekelompok orang memaksa masuk ke LP Cebongan dan mencari 4 orang pelaku pengeroyokan serta pembunuhan salah seorang anggota (Serka Heru Santoso). Setelah keempat orang tersebut ditemukan, salah seorang dari pelaku penyerbuan memberondong mereka dengan timah panas hingga tidak bernyawa.

Pasca penyerbuan, TNI Angkatan Darat membentuk tim investigasi internal. Hasil penyelidikannya, sesuai dengan perkiraan banyak orang, pelaku penyerbuan LP Cebongan adalah oknum anggota Kopassus yang juga merupakan rekan-rekan kesatuan alm. Serka Heru Santoso. Ketua tim investigasi, Brigadir Jenderal (CPM) Unggul K. Yudhoyono mengatakan penyerangan tersebut merupakan tindakan seketika yang dilatarbelakangi jiwa korsa dan membela kesatuan.

'Jiwa Korsa', itulah bahasa halus sebagai motif penyerangan LP Cebongan. Dalam pandangan saya, bahasa kasar dari 'jiwa korsa' dalam konteks kasus penyerbuan tersebut adalah Balas Dendam, mengedepankan kepentingan kesatuan dibandingkan proses hukum yang berjalan. Itulah paradoks 'jiwa korsa', penerapan jiwa korsa yang tidak tepat, seperti dikatakan oleh Mantan Wakil Komandan Jenderal (Wadanjen) Kopassus, Sutiyoso. Ia menilai prajurit kerap keliru menafsir arti jiwa korsa kesatuan.

Jika kita melihat ke belakang sejenak, banyak sekali kasus tawuran antar kampung dimulakan dari masalah sepele antar individu. Sebagai bagian dari suatu kelompok, beberapa orang tergerak untuk 'turut membantu' individu yang tengah bertikai tersebut, karena adanya 'jiwa korsa', "My Enemy's Friend is also My Enemy". Hingga akhirnya menjadi konflik antar daerah.

Bandung, 05 April 2012
yogiae

Tidak ada komentar:

Posting Komentar