Selasa, 09 April 2013

Bahasa persatuan internasional - Pengalaman berkunjung ke Vietnam

Saya ingin berbagi sedikit pengalaman saat saya mengunjungi Vietnam. Perjalanan ke Vietnam ini adalah perjalanan pertama saya ke luar negeri, namun menjadi perjalanan jauh yang ke sekian bagi saya. Seperti pengalaman sebelum-sebelumnya, hal yang paling saya takutkan saat mengunjungi daerah baru adalah bahasa.

Saya pernah melakukan praktek lapang di Magetan, salah satu kota dekat Madiun. Sudah bukan rahasia lagi bahwa orang Jawa sangat kental 'nasionalisme'nya terhadap budaya Jawa, khususnya dalam hal bahasa. Sangat jarang saya mendengar percakapan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan warga disana menyetarakan semua penduduk yang ada. Saya kerap langsung diajak ngobrol menggunakan bahasa Jawa oleh beberapa penduduk sekitar. Seketika saya langsung berkata "kulo tiang Bandung, mboten iso basa jowo" (saya dari Bandung, ngga bisa bahasa Jawa), dan percakapan pun berlangsung menggunakan bahasa Indonesia.

Kondisi yang sama kurang lebih saya rasakan di Palembang, ketika saya melakukan penelitian. Dalam beberapa kesempatan berinteraksi dengan penduduk lokal, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia yang benar-benar formal, agar lebih mudah dimengerti.

Berangkat dari kedua pengalaman tersebut, saya menyadari sepenuhnya bahwa harus ada satu bahasa verbal yang mengikat suatu daerah atau regional. Dalam konteks republik ini, hal itu telah tertuang dalam bulir ke-3 sumpah pemuda, yang berbunyi : Kami pemuda-pemudi Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Frase yang saya tebalkan memberi penekanan berlakunya Bahasa Indonesia di seluruh wilayah NKRI disamping lestarinya bahasa ibu daerah setempat.

Bagaimana dalam konteks internasional?

Saat saya tiba di bandara internasional Da Nang, Vietnam, orang-orang bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Bahasa yang baru saya dengar, saya tidak tahu nama bahasanya tapi sebut saja 'Bahasa Vietnam'.

Kondisi tersebut persis seperti saat saya tiba di bandara Sultan Badarruddin II, Palembang. Orang bercakap-cakap dengan bahasa yang belum pernah saya kenal, bahasa Palembang. Sangat asing, saya sama sekali tidak mengerti yang mereka katakan. Dalam kondisi tersebut, satu-satunya cara untuk bisa berkomunikasi verbal adalah kembali kepada bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Pikiran itu pula yang bisa menyelamatkan saya di Da Nang, kembali kepada bahasa persatuan. Status saya disana sebagai warga negara asing atau warga negara internasional, maka bahasa persatuan kala itu adalah bahasa persatuan internasional, Bahasa Inggris. Saya yang pernah apatis terhadap bahasa Inggris saat SMA, kini terbantu karenanya. Maka sebaiknya, kita tidak hanya menjunjung tinggi bahasa persatuan nasional, namun juga bahasa persatuan internasional.

Bagi saya, bahasa lebih dari sekedar alat komunikasi. Bahasa adalah kunci untuk bertahan hidup. Dimanapun kita berada, peribahasa 'Dimana langit di pijak, disitu bumi dijunjung' tetap berlaku.

10 April 2013
yogiae

Tidak ada komentar:

Posting Komentar