Kamis, 19 Mei 2011

Trauma dan akan terus menjadi trauma, huaaahhhh!!!!

Entah kenapa gw selalu merasakan ketakutan setiap melewati student center FMIPA. Bahkan kalau dari Fateta ingin ke arah gymnasium, gw lebih memilih arah memutar lewat Fahutan. Ketakutan yang sama aku hadapi setiap membuka jejaring social facebook. Takut membaca status-status orang, karena takut status **** terbaca. Status yang selalu penuh makna ambigu dan kerap membingungkan gw yang selalu khawatir terhadap hal-hal yang tidak pasti.

Aku jadi ingat kata-kata dia dulu, sesuatu yang tidak pasti itu sangat membuat tidak enak.. Kini gw merasakan hal tersebut sepenuhnya... trauma,, dan akan terus menjadi trauma..

*seketika aku merasakan bahagia seketika pula aku merasakan kecemasan. hidup seperti ini sungguh memuakkan!!!!!*


(diiringi lagu Chrisye - Kangen)


Selasa, 03 Mei 2011

Kupu-kupu Kertas

Warnanya putih, sayapnya rupawan meski tak seimbang. Tangan mungil bocah kecil membentuknya sedemikian rupa hingga rampung. Kupu-kupu kertas, begitulah sebutannya.

Dengan bermodalkan kertas putih satu lembar saja, si anak bisa membuat dua buah kupu-kupu kertas. Dia menggantungnya di jendela kamarnya. Setiap hari bertambah banyak. Kupu-kupu kertas di jendelanya beruntai dengan jumlah yang tidak sama. Untaian pertama berjumlah 15 buah, untaian berikutnya ada yang berjumlah 10, ada juga yang 5.

Setelah selesai, si anak mengambil selembar kertas lagi. Ia merobek kertas itu menjadi dua bagian. Melipatnya kesana kemari, membentuk kembali dua buah kupu-kupu kertas.

Angin meniupkan kupu-kupu kertas di jendela. Untaian tampak kokoh sehingga tak goyah walau diterpanya. Angin mengguncangkan pohonan, menyahut kesunyian pondok besar megah. Pondok alam dari jerami namun tampak megah bagi insan penuh syukur.

Kupu-kupu kertas terlahir kembali dari tangan bocah kecil. Angin iri melihatnya. Ia menuntun awan kelam membawa butiran air yang berat ke atas pondokan. Bagai lampu dunia gemerlap air melemparkan amarah. Ia tumpahkan kekesalannya, laksana bah menerpa bumi.

Untaian tetap kokoh, namun tanpa kupu-kupu kertas. Kupu-kupu kertas tergolek tak berdaya di atas lantai kelabu. Si anak bengong melihatnya. Ia mengambil selembar kertas kembali dan dibentuknya menjadi kupu-kupu kertas yang baru.

Sementara langit masih menuangkan amarah, si anak menggantungkan kupu-kupu kertas yang baru itu dalam untaian panjang di jendela kamarnya. Amukan langit kembali menggolekkan kupu-kupu kertas itu dan membumikannya.

Si anak tidak berhenti mengambil selembar kertas, lalu dibentuk lagi menjadi dua buah kupu-kupu kertas. Menggantungkannya di untaian jendela, dan terhempas di lantai dingin. Begitu seterusnya, begitu seterusnya. Hingga akhirnya angin mengalah. Melalui celah pohonan ia melesat menjauh, malu, tabu untuk menatap balik.
Si anak berdiri. Di raihnya kupu-kupu kertas yang terbaring di lantai yang dingin. Dia membentuknya lagi menjadi kupu-kupu kertas seadanya. Walau sobek, basah, lusuh, dia tetap membentuk dan menggantungnya dalam untai benang kasur di jendela.

Seraya membuat kupu-kupu kertas itu terhidup kembali, ia mendendangkan beberapa bait nada sumbang

Hei, si cicak selalu diganggu buaya, namun dia selalu bisa menang. Hei dia banyak akalnya, tak ragu putuskan ekornya. Hei, mimpi-mimpi yang merangkai jutaan kisah hidupnya. Hei, engkau terwujud karena perlawanan, bukan dengan kekerasan.

23-11-2009